Subak adalah bukti nyata kecerdasan lokal Bali dalam mengelola sumber daya alam. Lebih dari sekadar jaringan saluran air, Sistem Irigasi Tradisional ini adalah filosofi hidup yang telah menjaga keberlanjutan sawah terasering di pulau dewata selama lebih dari seribu tahun. Subak merupakan manifestasi nyata dari filosofi Hindu Tri Hita Karana (tiga penyebab keharmonisan), yang menekankan keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan (Parahyangan), manusia dengan manusia (Pawongan), dan manusia dengan alam (Palemahan). Prinsip ini memastikan air didistribusikan secara adil dan merata di antara para petani, sekaligus menjaga kesucian sumber air.
Inti dari Sistem Irigasi Tradisional Subak adalah koordinasi yang dilakukan oleh pekaseh (pemimpin subak) dan pusat ritualnya, yaitu Pura Ulun Danu (kuil air). Pura ini berfungsi sebagai tempat pemujaan Dewi Danu, dewi danau dan air, di mana para petani berkumpul untuk menentukan jadwal tanam dan pembagian air melalui musyawarah. Pembagian air diatur berdasarkan kebutuhan dan bukan kepemilikan lahan, menciptakan sistem yang sangat egaliter. Air dialirkan dari sumber utama (biasanya danau atau sungai) melalui serangkaian terowongan, saluran terbuka, bendungan kecil, dan kincir air, memanfaatkan gravitasi untuk mencapai lahan yang tersebar di perbukitan.
Keunikan Subak terletak pada kemampuannya untuk mengelola ekosistem. Subak membantu mengendalikan hama dan penyakit tanaman. Air yang dialirkan dan dikeringkan secara teratur membantu memutus siklus hidup hama, sementara struktur terasering itu sendiri meminimalkan erosi tanah. Efektivitas Sistem Irigasi Tradisional ini diakui secara global ketika UNESCO menetapkannya sebagai Situs Warisan Dunia pada 6 Juli 2012, yang meliputi lima kawasan utama sawah dan pura air, seperti Pura Ulun Danu Batur dan Jatiluwih Rice Terraces. Pengakuan ini menggarisbawahi nilai Subak bukan hanya sebagai praktik pertanian, tetapi sebagai warisan budaya hidup.
Meskipun dihadapkan pada tantangan modernisasi dan alih fungsi lahan menjadi kawasan wisata, upaya pelestarian terus dilakukan. Pemerintah Provinsi Bali, bekerja sama dengan berbagai lembaga konservasi, telah menetapkan regulasi ketat mengenai zonasi kawasan Subak untuk melindunginya dari pembangunan. Sebagai contoh konkret, pada Surat Keputusan Gubernur Bali Nomor 12/SK/2024 yang ditetapkan pada 12 Februari 2024, diumumkan penetapan zona penyangga baru di sekitar Subak Jatiluwih, membatasi izin pembangunan permanen. Langkah perlindungan ini penting untuk memastikan bahwa Sistem Irigasi Tradisional Subak dapat terus berfungsi, melestarikan lanskap budaya Bali yang ikonik, dan terus menjadi sumber pangan serta identitas spiritual bagi masyarakat Bali.
