Ogoh-ogoh adalah manifestasi unik dari budaya Bali yang menggabungkan elemen ritual keagamaan, kreativitas seni rupa, dan semangat gotong royong komunitas. Patung-patung besar ini, yang dikenal sebagai Seni Patung Raksasa Bali, menjadi pusat perhatian dalam upacara Pengerupukan, malam sebelum Hari Raya Nyepi. Fungsi utamanya adalah sebagai perwujudan visual dari Bhuta Kala, yaitu kekuatan alam semesta dan waktu yang destruktif dan negatif. Melalui prosesi pawai yang meriah, masyarakat Hindu Bali bermaksud menetralkan atau mengusir unsur-unsur negatif ini sebelum menjalani Catur Brata Penyepian (empat pantangan Nyepi) dalam keheningan total.
Secara artistik, Ogoh-ogoh adalah puncak dari Seni Patung Raksasa Bali kontemporer. Meskipun secara tradisional digambarkan sebagai monster atau raksasa seram sesuai dengan mitologi Hindu (misalnya, Raksasa Kala atau tokoh antagonis dari kisah Mahabharata), dalam perkembangannya, banyak Ogoh-ogoh kini mengangkat tema-tema sosial dan lingkungan. Generasi muda Bali, khususnya Sekaa Teruna-Teruni (organisasi pemuda desa), menggunakan proyek pembuatan Ogoh-ogoh sebagai wadah untuk menyalurkan kritik sosial atau kepedulian terhadap isu-isu modern. Proses pembuatannya yang memakan waktu minimal dua bulan, melibatkan struktur rangka bambu atau kayu, dihiasi dengan adonan bubur kertas (papier-mâché) dan diakhiri dengan pewarnaan yang dramatis.
Pengerjaan satu unit Seni Patung Raksasa Bali ini umumnya membutuhkan biaya yang signifikan dan melibatkan kerja kolektif puluhan pemuda. Sebagai contoh, di Desa Adat Renon, Denpasar Selatan, pada pelaksanaan Pengerupukan tahun 2024 yang jatuh pada hari Minggu, pembuatan Ogoh-ogoh oleh STT Banjar Kaja menghabiskan anggaran sekitar 25 juta Rupiah, yang dikumpulkan murni dari swadaya dan donasi warga desa. Angka ini mencerminkan tingginya komitmen masyarakat dalam melestarikan tradisi sekaligus mendorong kreativitas generasi muda.
Pada malam Pengerupukan, yang biasa dimulai pukul 19.00 Wita, patung-patung ini diarak mengelilingi desa atau jalan utama. Prosesi pawai ini seringkali diawasi ketat oleh aparat keamanan, termasuk pecalang (petugas keamanan tradisional) dan kepolisian setempat, untuk memastikan ketertiban lalu lintas. Puncaknya, setelah diarak dan dipertontonkan, Ogoh-ogoh tersebut akan dibakar atau dihancurkan di tempat pembakaran yang telah ditentukan. Ritual pembakaran ini melambangkan pemusnahan Bhuta Kala atau energi negatif, membersihkan lingkungan, dan menyiapkan diri untuk menyambut Tahun Baru Saka dengan hati dan jiwa yang bersih. Dengan demikian, Seni Patung Raksasa Bali ini bukan hanya perayaan seni, tetapi juga ritual purifikasi spiritual yang mendalam.
